Biografi Atisha
12 Feb 2012
Atisha adalah putra kedua dari seorang raja penguasa suatu area yang pada hari ini berada di daerah perbatasan antara India dan Bangladesh. Diceritakan bahwa selama kelahiran Atisha pada tahun 982 banyak hal menakjubkan terjadi, semisal hujan bunga teratai biru yang turun di pangkuan ibunya. Orang tuanya memberinya nama Chandragharba, yang berarti “Esensi Rembulan”.
Pada usia 20 tahun, Atisha menerima pentahbisan monastik dan diberi nama Dipamkara Srijnana. Kelak pada banyak kesempatan, selama berada di Tibet, Dipamkara Srijnana dikenal sebagai Atisha.
Atisha adalah seorang siswa yang penuh semangat. Ia mempelajari kitab dari semua tradisi Buddhis, ia tidak mempelajari salah satu sisi saja. Secara keseluruhan, hanya ada satu sumber yakni Buddha Sakyamuni dan jika seseorang ingin mengikutiNya, seseorang harus berjalan di jalan-Nya. Pada kenyataannya, tidak ada pemisahan ajaran Buddha sebagai Hinayana (wahana kecil) dan Mahayana (wahana agung).
Setelah Atisha belajar dengan semua guru terkemuka di India, ia menjadi sangat terpelajar, mahir dalam lima cabang pengetahuan utama, menguasai Sutra maupun Tantra, walaupun demikian ia bertanya-tanya mengenai jalur apakah yang tercepat untuk dapat meraih pencerahan yang lengkap dan sempurna? Atisha lalu mengalami beberapa kejadian unik, yang mana kejadian-kejadian tersebut mengarahkannya pada satu jawaban yang sama, yaitu: melatih Batin Pencerahan (Bodhicitta), suatu sikap mental yang altruistik.
Pada masa itu, hanya ada satu guru yang memegang garis silsilah lengkap mengenai metode tersebut, yakni guru Dharmakirti, yang berdiam di Suvarna-dvipa (pada masa kini adalah suatu daerah di Sumatra, Indonesia). Tergerak oleh hasrat yang kuat untuk dapat mempelajari metode tersebut, bersama dengan 125 siswa dan pedagang, Atisha berangkat ke Sumatera. Tanpa mempedulikan kesulitan dan bahaya dalam mengarungi samudra, Atisha tiba di Suvarnadvipa setelah 13 bulan berlayar. Atisha ketika itu berusia sekitar 30 tahun.
Ada begitu banyak hal yang dipelajari dan diamati oleh Atisha selama 12 tahun tinggal bersama dengan Serlingpa (Dharmakirti oleh orang Tibet lebih dikenal dengan sebutan Serlingpa, yang berarti “Orang dari Serling [Suvarna-dvipa])”. Menurut penelitian di Indonesia, Atisha tampaknya juga telah mengunjungi Pulau Jawa, di mana nenek moyang Serlingpa telah membangun tempat-tempat suci yang megah seperti Stupa Borobudur di terkenal di dunia, kompleks candi Prambanan, Candi Tara Kalasan dan istana Boko.
Atisha berada dalam bimbingan penuh dari guru Dharmakirti selama 12 tahun dan selama itu pula ia telah berhasil mewarisi ajaran lengkap mengenai Bodhicitta dan meraih realisasi yang mengagumkan. Sebelum ia kembali ke India, guru Dharmakirti memprediksi bahwa kelak Atisha akan membawa manfaat yang amat luas bagi negeri tanah bersalju di utara (Tibet).
Sekembalinya di India, Atisha menjadi kepala vihara di sekolah terdahulunya, universitas monastik Vikramasila. Suatu hari, sekelompok utusan Tibet datang menemuinya. Mereka telah diutus oleh Jangchub O, Raja Tibet barat, untuk memohon Atisha datang ke Tibet dan menyelamatkan Buddhisme dari kepunahan.
Mendengar permohonan tersebut Atisha menjadi ragu-ragu. Ada begitu banyak yang harus dilakukan di India, di mana ajaran-ajaran Buddha juga perlu dihidupkan kembali. Tapi setelah Atisha diberitahu bahwa paman dari Jangchub O, yakni Raja Yeshe O, Telah mengorbankan hidupnya agar Atisha berkenan datang, Atisha merasa bahwa ia harus pergi ke Tibet. Singkat cerita Atisha pun pergi, menghabiskan satu tahun di Nepal dan tiba di negara Singa Salju pada usia sekitar enam puluh tahun.
Lukisan-lukisan dinding di banyak vihara Tibet mengingatkan, bagaimana Atisha diterima oleh Jangchub O, semua bhiksu dan orang-orang Tibet dengan penuh hormat dan hati terbuka. Jangchub O tidak menginginkan apa pun selain membawa orang-orang kembali ke jalan spiritual. Ia meminta Atisha untuk menulis panduan singkat, tepat dan praktis tentang bagaimana cara mempraktikkan Dharma. Setiap orang harus dapat memahaminya. Atisha lalu merangkum berbagai ajaran Buddha ke dalam sebuah karya yang dipelajari oleh banyak praktisi di seluruh dunia hingga saat ini: Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan (Bodhipathapradipa), sebuah naskah panduan singkat yang terdiri dari 68 bait. Karya ini memaparkan ajaran Buddha secara sistematis dan bertahap. Di Tibet, beliau berhasil melenyapkan kebingungan di kalangan para praktisi di sana, yang berpendapat bahwa praktik Sutra dan Tantra adalah bagaikan minyak dengan air, selamanya tak akan dapat dipadukan. Atisha berhasil meluruskan kesalahpahaman itu melalui karya tersebut.
Bagi seorang Atisha, pada usia itu tidaklah mudah mengatasi ketinggian dataran tinggi pada musim dingin dan perjalanan jarak jauh, terutama dengan kuda, perahu dan berjalan kaki. Walaupun demikian ia menerjang kerasnya alam dengan keteguhan batinNya dan belas kasihNya bagi semua orang, ia mengunjungi banyak tempat suci di gunung dan di lembah-lembah, ia menulis ulasan Dharma dan mengajar, memanjatkan doa di gua-gua, stupa-stupa telah dibangun, memberkati vihara-vihara yang ada dan mendorong orang-orang Tibet untuk membangun yang baru.
Setelah bertahun-tahun bepergian, Atisha menghabiskan waktu lebih lama di gua-gua Drak Yerpa, sebuah daerah pegunungan di sekitar Lhasa timur dan akhirnya menetap di sebuah vihara kecil yang disebut Nyetang, setengah jam perjalanan ke barat dari Lhasa. Tahtanya masih dapat dilihat pada masa kini beserta rupang buatannya sendiri dan sebuah stupa kecil, yang berisi barang-barang milik pribadi, di samping stupa dari Dromtonpa, seorang murid kesayangannya. Atisha wafat di Nyetang pada tahun 1054 pada usia 72 tahun.
Para bhiksu sesepuh masih kerap kali mengisahkan bagaimana Yeshe dan Jangchub melakukan segalanya untuk mengundang Atisha datang ke Tibet dan Atisha terlihat bagai ayah dari semua penganut Buddhisme Tibet. Mereka juga tahu, bahwa tampaknya ada garis spiritual geografis utara-selatan antara Stupa Borobudur di Indonesia dan Stupa Kumbum di Gyantse, Tibet. Keduanya dibangun di atas Mandala yang sangat mirip, keduanya adalah manifestasi dari welas asih universal dan kebenaran tertinggi, meskipun Stupa Kumbum dibangun sekitar 900 tahun setelah Borobudur dan 400 tahun setelah Atisha.
Kini seribu tahun telah berlalu setelah kedatangan sang Maha-pandita Atisha ke Indonesia, peringatan tersebut dirayakan dengan serangkaian acara oleh beberapa komunitas Buddhis di Indonesia. Kagyu Monlam ke-4 hadir di Borobudur; salah satunya sebagai sebuah ungkapan sukacita atas peristiwa penting tersebut.
Leave a Reply